Beban Pembuktian Hukum Acara Perdata


Pengertian Beban Pembuktian.

Beban pembuktian adalah kewajiban dari sebuah pihak pada satu sisi dalam perselisihan atau masalah untuk memberikan bukti yang cukup untuk mendukung posisi mereka. Secara umum ada dua tetapi penerapannya sangat berbeda dari beban pembuktian.
Beban pembuktian adalah kewajiban dari sebuah pihak pada satu sisi dalam perselisihan atau masalah untuk memberikan bukti yang cukup untuk mendukung posisi mereka. Secara umum ada dua tetapi penerapannya sangat berbeda dari beban pembuktian.

Beban pembuktian harus dilakukan secara adil. Jika pada suatu sengketa hanya satu pihak saja yang diberi beban pembuktian, sedangkan pihak yang lain tidak, hal ini akan menjerumuskan pada jurang kekalahan. Jadi, hakim dituntut untuk adil dalam pembagian beban pembuktian terhadap pihak yang bersengketa di muka sidang peradilan.

Pasal 163 HIR disebutkan bahwa jika seseorang  mengatakan mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian tersebut.

Kemudian, dalam Pasal 1865 BW disebutkan bahwa setiap orang yang mendalihkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun untuk membantah hak orang lain terhadap suatu peristiwa, maka dia wajib untuk membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa yang dibebani pembuktian adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara. Pihak yang mengakui mempunyai suatu hak harus membuktikan akan hak tersebut, sedangkan pihak yang membatah terhadap hak tersebut, juga harus membuktikan bantahannya.

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang  beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, yaitu:

Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini, orang yang mempunyai hak harus membuktikan hak tersebut, bukan mengingkari atau menyangkalnya. Dasar yang menjadi teori ini adalah bahwa hal yang negatif tidak perlu untuk dibuktikan. Hal negatif tidak mungkin menjadi dasar dari suatu hal, meskipun mungkin pembuktian terhadap hal negatif dilakukan, akan tetapi hal tersebut tidak penting dan tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.

Teori Hukum Subyektif.

Menurut teori hukum ini suatu proses perdata merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif. Teori ini menyebutkan bahwa  barang siapa mengakui mempunyai hak, maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Sedangkan pihak lain yang membantah hak tersebut harus membantah dan membuktikan bahwa hak tersebut tidak ada. Teori ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW.

Teori Hukum Obyektif

Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat minta pada hakim agar menerapkan ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan terhadap peristiwa tersebut.

Teori Hukum Publik.

Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, maka hakim diberi kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban untuk membuktikan yang bersifat hukum publik, yakni membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

Teori Hukum Acara

Asas audi et alteram, asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini  adalah kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka hakim. Hakim berdasarkan kesamaan kedudukan harus  memberikan beban yang sama kepada para pihak untuk membuktikan  terhadap apa yang didalihkan. Akibat dari asas ini adalah setiap pihak mempuyai kesempatan yang sama untuk menang. Hal yang harus dibuktikan adalah hal-hal yang positif saja, yakni adanya suatu peristiwa bukan tidak adanya suatu peristiwa.

Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Bukti adalah sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian, sedangkan alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan. Alat bukti disebutkan dalam Pasal 164 HIR. Adapun macam-macam alat bukti tersebut adalah:


1. Bukti Surat.

Surat, diatur dalam Pasal 165-169.
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.

Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).

Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dan sebagainya.

Menurut undang-undang, suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Sedangkan akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut.

Selanjutnya, terdapat tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dan sebagainya, yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.

 2. Saksi.

Saksi, diatur dalam Pasal 169-172.
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.

Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi, tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.

Selanjutnya, tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.

Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.

 3. Prasangkaan.

Persangkaan, diatur dalam Pasal 173.
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.

Pada pembuktian, ada dua macam persangkaan, yaitu:
- persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan
-persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).

Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.

Sedangkan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara, dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

 4. Pengakuan

Pengakuan, diatur dalam Pasal 174-176.
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.

Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.

 5. Sumpah

Sumpah, diatur dalam Pasal 177.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang menentukan (decissoire eed) dan tambahan (supletoir eed).

Sumpah yang menentukan (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.

Sedangkan suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang telah ada tersebut. Hakim leluasa memutuskan, apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sumpah tambahan juga dapat dikatakan sebagai penentu jalannya perkara.

Perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah yang menentukan adalah, bahwa sumpah yang menentukan datangnya belakangan yang diperintahkan oleh suatu pihak yang berperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

SANKSI HUKUM BANDAR NARKOBA, PENGEDAR & KURIR NARKOBA

OPERASI INTELIJEN KEJAKSAAN TIDAK TERLEPAS DARI SIKLUS RODA PERPUTARAN INTELIJEN (RPI)

Bro, Siapakah Gadis Berkaca Mata yang Duduk di Sebelah Kiri Sana?...