Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata


1.  Pengertian Gugatan.

Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.
Gugatan perdata para pihaknya adalah orang yang merasa bahwa haknya dilanggar (penggugat) dan  orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu (tergugat). Dalam gugatan perdata, yang akan diselesaikan adalah sengketa atau konflik hak para pihak.

2.  Bentuk Gugatan

Dalam Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dikenal 2 (dua) macam bentuk surat gugatan yaitu;

a. Gugatan Tertulis

Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan surat gugatan adalah; (i) penggugat dan atau (ii) kuasanya.

b. Gugatan Lisan

Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.

3. Perubahan Dalam Gugatan

Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2 (dua) pihak yang dikenal sebagai penggugat dan tergugat. Apabila pihak penggugat merasa dirugikan haknya, maka ia akan membuat surat gugatan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat yang berwenang dan kemudian oleh pengadilan negeri disampaikan kepada pihak tergugat. Dalam hal surat gugatan yang telah didaftarkan oleh penggugat, maka penggugat dapat melakukan perubahan gugatan. Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini, baik hakim maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk mengubah gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap mengedepankan nilai-nilai hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan mengenai perubahan gugatan tidak diatur dalam Herziene Indonesich Reglement (“HIR”) maupun Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”), namun diatur dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”), yang menyatakan bahwa:

“Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggugat memiliki hak untuk mengajukan perubahan gugatan, namun hanya yang bersifat mengurangi atau tidak menambah dasar daripada tuntutan dan peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan berupa penambahan dasar atau peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal tersebut akan sangat merugikan kepentingan tergugat. Dengan kata lain, perubahan gugatan diperbolehkan selama tidak merubah materi gugatan, melainkan hanya segi formal dari gugatan (misalnya: perubahan atau penambahan alamat penggugat, nama atau alias dari penggugat atau tergugat)

Syarat Perubahan Gugatan

Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan gugatan tidak terdapat dalam Pasal 127 Rv.  Namun, dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”), terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku pedoman MA, dijelaskan mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan gugatan, yaitu[1]:

a. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat

Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan:

Diajukan pada hari sidang pertama, dan
Dihadiri oleh para pihak
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:

Di luar hari sidang, dan
Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap sangat merugikan kepentingan tergugat.

b.    Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi

Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan:

Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan gugatan yang bersangkutan,
Memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.

c.    Tidak menghambat acara pemeriksaan

Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan. Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses penyelesaian perkaranya.

Perubahan gugatan tersebut diajukan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara. Apabila perubahan gugatan sudah diterima oleh hakim, maka hakim wajib untuk memeriksa isi dari perubahan gugatan tersebut. Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan tersebut terletak pada konten atau isi dari perubahan gugatan yang diajukan, yakni apakah gugatan yang telah diubah itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, peran hakim dalam masalah perubahan gugatan yang telah diajukan ini sangat penting karena apabila isi dari perubahan gugatan tersebut bertentangan dengan hukum, sedangkan hakim menyetujui perubahan gugatan yang bertentangan dengan hukum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hakim telah melanggar kewajibannya untuk menegakkan keadilan.

4. Jenis Gugatan

Menurut Yahya Harahap, gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:

1. Gugatan wanprestasi (ingkar janji)

Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUH Perdata, yang pada prinsipnya membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUH Perdata juga telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam wanprestasi.

2. Gugatan PMH

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian karena PMH tidak perlu somasi. Kapan saja terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).

 Agar Pengugat dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan PMH, maka harus dipenuhi unsur-unsur yaitu:

1.  Harus ada perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;

2. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum telah diartikan secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan tetapi juga dapat berupa:

3. Melanggar hak orang lain.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Comments

Popular posts from this blog

OPERASI INTELIJEN KEJAKSAAN TIDAK TERLEPAS DARI SIKLUS RODA PERPUTARAN INTELIJEN (RPI)

SANKSI HUKUM BANDAR NARKOBA, PENGEDAR & KURIR NARKOBA

Waspadai... Kebiasaan yang Bikin Otakmu Kerdil Hingga Rusak,